15 December 2024

Efek Gitar Digital: Dari Ejekan Hingga Jadi Pilihan Semua Gitaris

Efek Gitar Digital: Dari Ejekan Hingga Jadi Pilihan Semua Gitaris



“Efek digital? Itu buat pemula!”
Begitu kira-kira ejekan yang sering saya dengar di masa SMP dan SMA awal menjadi gitaris band, sekitar tahun 2005-2010. Waktu itu, saya adalah anak muda dengan semangat membara, tapi dengan dompet yang lebih tipis dari senar gitar yang baru diganti. Mau bagaimana lagi? Budget saya tidak memungkinkan untuk merakit pedal analog satu per satu seperti para senior saya, apalagi membeli rak pedal yang isinya bisa bikin dompet kosong seketika.

12 December 2024

Maling Teriak Maling: Ironi Music Producer Pengguna Software Bajakan di Dunia Musik

Maling Teriak Maling: Ironi Music Producer Pengguna Software Bajakan di Dunia Musik

 


Industri musik adalah tempat di mana kreativitas dipuja, hak cipta dijaga mati-matian, dan kata "royalti" menjadi mantra sakral. Tapi mari kita buka tirai sedikit, karena ada sisi gelap yang jarang dibahas. Sebuah ironi besar: banyak music producer, composer, arranger, dan songwriter yang lantang menuntut hak cipta atas karya mereka, tapi diam-diam mereka menggunakan software bajakan. Iya, maling teriak maling.

07 December 2024

72% Musisi Tidak Menghasilkan Passive Income dari Musik: Perspektif 2024 dari Jogja

72% Musisi Tidak Menghasilkan Passive Income dari Musik: Perspektif 2024 dari Jogja



Dalam percakapan saya dengan 103 musisi di Jogja sepanjang 2024, saya menemukan fakta mengejutkan—72% musisi tidak menghasilkan passive income dari musik. Sebaliknya, banyak dari mereka mendapatkan penghasilan pasif dari investasi di reksadana, saham, dan crypto. Artikel ini akan menggali lebih dalam mengapa hal ini terjadi, serta tantangan yang dihadapi musisi di Indonesia dalam menghasilkan uang dari karya mereka.

05 December 2024

Musicpreneur: Bisnis Musik atau Musik Dibisniskan?

Musicpreneur: Bisnis Musik atau Musik Dibisniskan?

Ah, dunia musicpreneur, istilah kekinian yang terdengar elegan. Sebuah dunia di mana musik bertemu bisnis, lalu lahirlah harmoni yang katanya bisa menghasilkan pundi-pundi. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya, apakah seorang musicpreneur harus bisa bermusik? Jawabannya sederhana: iya, wajib!

Sayangnya, kenyataan di lapangan justru memprihatinkan. Banyak sekali bisnis musik yang, kalau kita jujur, lebih terlihat seperti bisnis yang kebetulan menjual musik. Siapa yang menjalankan? Pebisnis murni yang bahkan tidak tahu perbedaan antara tangga nada mayor dan minor. Lantas, apakah mereka peduli? Tentu tidak. Yang penting profit, kawan.


Ketika Musik Jadi Barang Jualan Semata

Bayangkan sebuah restoran mewah yang pemiliknya tidak tahu apa itu garam. Mereka hanya fokus pada dekorasi dan daftar harga tanpa peduli rasa makanan. Nah, analogi ini menggambarkan bagaimana sebagian besar bisnis musik dijalankan. Mereka melihat tren, melihat potensi pasar, lalu masuk dengan niat mengambil keuntungan sebanyak mungkin.

Apa yang hilang? Rasa. Jiwa. Esensi. Musik, yang seharusnya menjadi seni, berubah menjadi sekadar komoditas. Konser diubah menjadi mesin uang, kursus musik menjadi pabrik sertifikat, dan produksi lagu menjadi kalkulasi untung-rugi belaka.


Strategi "Musisi Sebagai Pajangan"

Ketika bisnis musik dikelola oleh pebisnis yang tidak memahami seni, ada strategi yang sering digunakan: menggandeng musisi profesional sebagai brand ambassador. Pada pandangan pertama, ini terlihat seperti langkah cerdas. Namun, mari kita bedah lebih dalam.

  1. Musisi Jadi Pajangan Branding
    Musisi profesional sering dijadikan wajah bisnis untuk membangun kredibilitas. Mereka tampil di iklan, berbicara di video promosi, dan mungkin sesekali muncul di acara perusahaan. Namun, apakah mereka benar-benar memiliki andil dalam operasional bisnis? Jauh dari itu.

  2. Siapa yang Memutuskan Kebijakan?
    Andil terbesar tetap berada di tangan pemilik bisnis. Dari harga kursus hingga strategi pemasaran, semuanya diatur oleh orang-orang yang bahkan mungkin tidak tahu bagaimana cara membaca notasi musik. Sementara itu, musisi profesional hanya menjadi tameng untuk menciptakan ilusi bahwa bisnis ini dijalankan oleh orang-orang yang paham seni.

  3. Fokus pada "Atribut Komersial" Musisi
    Yang dijual bukanlah keahlian musisi, melainkan popularitasnya. Tidak masalah jika mereka tidak terlalu terlibat dalam pengembangan layanan atau produk, selama wajah mereka cukup menjual untuk menarik konsumen.

  4. Esensi Seni Terkikis
    Ketika bisnis lebih fokus pada branding daripada konten, yang terjadi adalah produk atau layanan yang kehilangan esensi seninya. Kursus musik menjadi standar minimalis, produksi musik menjadi repetitif, dan inovasi menjadi stagnan.


Logika Wajib: Musicpreneur Harus Bisa Bermusik

Mengapa seorang musicpreneur harus memiliki kemampuan musikal? Berikut alasannya:

  1. Autentisitas Produk
    Bagaimana Anda bisa menjual sesuatu yang tidak Anda pahami? Seorang musicpreneur yang tidak bisa bermusik tidak lebih dari seorang pedagang kosong. Autentisitas hanya lahir dari pemahaman mendalam, dan pemahaman itu mustahil tanpa pengalaman langsung dalam bermusik.

  2. Kredibilitas di Mata Konsumen
    Musik bukanlah sembarang produk; ia adalah ekspresi jiwa. Seorang musicpreneur yang memahami musik memiliki kredibilitas lebih tinggi karena mereka berbicara dari pengalaman, bukan dari laporan Excel.

  3. Visi yang Berorientasi pada Kualitas
    Pebisnis murni cenderung fokus pada angka. Tapi seorang musicpreneur yang juga musisi akan fokus pada kualitas. Mereka mengerti bahwa musik berkualitas lebih dari sekadar produk; itu adalah karya seni yang memiliki dampak emosional bagi pendengar.

  4. Membangun Keberlanjutan, Bukan Sekadar Keuntungan
    Bisnis musik yang dijalankan oleh musisi memiliki visi jangka panjang. Mereka memahami ekosistem musik dan ingin membangunnya, bukan sekadar mengambil keuntungan lalu meninggalkan kehancuran.


Alasan saya Mendirikan Fisella

Fisella lahir dari keresahan para musisi profesional, bukan sekadar pedagang yang ingin "mencicipi manisnya industri musik." 

  • Kursus Musik dari Hati, Bukan Kantong
    Fisella menawarkan kursus musik yang dirancang oleh musisi untuk musisi. Ini bukan sekadar program belajar yang mengandalkan "template sukses." Setiap modul dikembangkan dengan pengalaman nyata, melibatkan pengajar yang benar-benar memahami seni dan teknik musik.

  • Proyek Musik Nyata, Bukan Janji Kosong
    Salah satu keunikan Fisella adalah murid-muridnya diberi kesempatan untuk terjun ke proyek musik nyata. Dari mengerjakan real project hingga paid project, semua dirancang untuk menghubungkan teori dengan praktik.

  • Profit? Tentu, Tapi dengan Jiwa Seni
    Apakah Fisella mencari keuntungan? Tentu saja, ini bisnis, bukan komunitas relawan. Tapi keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan. Fisella berdiri untuk menciptakan ekosistem musik yang lebih baik, mengedukasi generasi musisi berikutnya, dan menjaga integritas seni di tengah gempuran komersialisasi.


Menutup Satire dengan Renungan

Jadi, sebelum Anda memutuskan menjadi seorang musicpreneur, tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah Anda mengerti musik, atau hanya melihatnya sebagai peluang bisnis?
  • Apakah Anda ingin membangun ekosistem musik, atau hanya mengambil keuntungan darinya?
  • Apakah Anda peduli dengan seni, atau hanya angka di rekening?

Jika jawaban Anda condong ke sisi bisnis semata, mungkin sebaiknya Anda menjual pakaian atau gadget saja. Musik adalah dunia yang membutuhkan jiwa, bukan sekadar kalkulator. Karena pada akhirnya, musik tanpa jiwa adalah kebisingan. Dan bisnis tanpa integritas adalah kehampaan.

20 November 2024

Musikolog dan Praktik: Sudahkah Selesai dengan “Masalah Praktis”?

Musikolog dan Praktik: Sudahkah Selesai dengan “Masalah Praktis”?


Musikologi merupakan sebuah terobosan di mana teori musik bertemu dengan sejarah, estetika, dan kritik, dan spektrum lain yang luas tempat di mana musikolog menciptakan narasi intelektual untuk seni. Namun, seringkali kita mendapati seorang musikolog berbicara tentang kehebatan Bach dan pythagoras, tetapi memainkan Invention No. 1 pun tidak lancar. Atau mengkritik struktur harmoni modern tanpa pernah membuat satu pun aransemen yang layak ditampilkan.