12 February 2025

Kegagalan Musisi Generasi Z adalah Kegagalan Akademisi Generasi Sebelumnya + Korupsi


Musisi generasi Z sering dicap sebagai generasi yang kurang terampil, kurang disiplin, dan kurang siap menghadapi dunia musik profesional. Tapi sebelum jari-jari akademisi dan pendidik musik generasi sebelumnya sibuk menunjuk ke arah mereka, mari kita ingat satu hal penting: kalau generasi ini gagal, itu karena akademisi generasi sebelumnya yang gagal mempersiapkan mereka.


Korban Pandemi, Korban Sistem Pendidikan yang Berantakan

Mari kita mulai dari pandemi. Generasi Z yang sekarang berusia 18-25 tahun adalah mereka yang sekolahnya diacak-acak COVID-19. Mereka kehilangan pengalaman belajar langsung, latihan ansambel, konser sekolah, dan bimbingan tatap muka yang seharusnya membentuk fondasi keterampilan musik mereka.

Tapi apakah akademisi cepat beradaptasi? Tidak. Banyak guru dan institusi musik tetap menggunakan metode pengajaran lama yang statis, seolah pandemi ini tidak mengubah cara orang belajar. Tidak ada penyesuaian kurikulum yang berarti, tidak ada inisiatif yang signifikan untuk menjembatani kesenjangan yang muncul akibat pembelajaran daring yang terburu-buru.

Sementara itu, sistem pendidikan Indonesia ikut memperparah keadaan. Tidak ada tuntutan kelulusan yang jelas, semua siswa pasti naik kelas, PR dikurangi, dan disiplin akademik semakin longgar. Indonesia ingin meniru sistem pendidikan Finlandia yang bebas tekanan, tapi tanpa mengkaji bagaimana pola pikir siswa dan kesiapan akademisi. Hasilnya? Siswa tidak tertantang, guru tidak terdorong untuk berkembang, dan akademisi hanya sibuk dengan formalitas tanpa inovasi.


Akademisi Musik: Bertahan di Cara Lama dalam Dunia yang Berubah

Dunia musik berkembang dinamis, tetapi akademisi musik di Indonesia masih mengajar seperti tahun 1980-an. Generasi Z belajar melalui YouTube, e-learning, dan AI, sementara akademisi masih terpaku pada buku teks yang sama sejak puluhan tahun lalu. Banyak pengajar musik masih menuntut metode lama yang kaku, tanpa mempertimbangkan bahwa cara berpikir dan cara belajar generasi baru sudah berubah drastis.


Sekarang, mari kita bercerita sedikit tentang pengalaman saya sendiri.


Kisah Nyata: Lagi-Lagi Korupsi 💩

Waktu pandemi, saya mendapat keluhan dari beberapa guru di sebuah sekolah musik terkenal di Indonesia.

Sekolah ini dulunya sangat ketat dalam menerima siswanya: salah satu syarat masuknya adalah lancar membaca not balok. Tapi di era pandemi? Murid-murid baru yang masuk banyak yang bahkan tidak bisa baca not balok.


Para guru kewalahan. Murid bertambah banyak, tapi jumlah guru tetap. Mereka harus menambah jam pelajaran di luar kelas, tapi jelas mereka juga punya keterbatasan waktu dan tenaga.


Saya, dengan niat baik tanpa sedikitpun menggunakan gimick untuk bisnis menawarkan Fisella® Music Academy, platform e-learning yang saya dan tim bangun. Awalnya, tujuan kami memang jualan dan dapat profit, tapi melihat kondisi ini, saya berkata, "Saya gratiskan deh e-course baca not balok untuk sekolah ini."


Tentu saja, saya tetap butuh keterlibatan guru mereka. Jadi saya bilang, "Saya cuma minta salah satu guru jadi instruktur, kami yang produksi videonya."


Dan tahukah kamu apa jawaban mereka?

"Tim Fisella aja yang buat, soalnya kita sibuk."


🐶 Anj*ng! Kata saya dalam hati. Semua orang juga sibuk kali. Tapi baiklah, saya dan tim Fisella tetap bersedia bikin kontennya.


Suatu saat saya pitching ke petinggi sekolah itu. Saya jelaskan bahwa ini solusi gratis yang bisa membantu siswa mereka belajar not balok dengan lebih efektif. Dan sekali lagi GRATIS! Kita yang produksi!

Dan apa reaksi mereka?

Dengan pedenya, salah satu petingginya bertanya: "Kami dapat berapa atas proyek ini?"


Auto balik kanan saya.

Cuk! Bagaimana Mau Maju Kalau Akademisinya Begini?

Kalau akademisi lebih sibuk mikirin dapat apa dari proyek edukasi gratisan ketimbang mikirin masa depan muridnya, ya jangan heran kalau musisi generasi Z banyak yang gagal.


Jujur, otak saya langsung berpikir, ya wes, nggak akan saya bantu. Mending fokus jualan.


Bagaimana mau mencetak musisi hebat kalau sekolah musik pun lebih fokus cari keuntungan daripada inovasi? Kalau akademisi malas beradaptasi dan hanya sibuk mencari keuntungan pribadi?


Generasi Z bukan generasi yang bodoh atau malas. Mereka hanya tidak dipersiapkan dengan baik. Mereka menghadapi sistem pendidikan yang terlalu longgar, akademisi yang menolak berubah, dan institusi musik yang lebih peduli pada bisnis ketimbang kualitas pendidikan.


Kalau akademisi musik di Indonesia tidak segera beradaptasi, generasi berikutnya akan lebih buruk lagi. Lalu siapa yang akan disalahkan nanti? Murid-muridnya lagi?


Mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa sebenarnya yang gagal di sini?


Saatnya Berubah: Ajakan untuk Semua Pihak

Perubahan tidak bisa datang dari satu sisi saja. Semua pihak—akademisi, institusi musik, dan generasi muda sendiri—harus bergerak bersama:

  1. Akademisi harus lebih fleksibel dan adaptif. Jangan terpaku pada metode lama. Teknologi sudah ada, manfaatkan untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan efektif.
  2. Institusi pendidikan musik harus lebih transparan dan fokus pada kualitas. Jangan hanya mengejar keuntungan, tapi benar-benar menjadi tempat berkembangnya musisi hebat.
  3. Generasi Z juga harus lebih proaktif. Jangan hanya bergantung pada akademisi. Gunakan internet, belajar mandiri, dan terus kembangkan keterampilan.
  4. Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan pendidikan. Jika ingin meniru Finlandia, kaji dulu kesiapan seluruh ekosistem pendidikan, bukan hanya mengambil kebijakan setengah-setengah.

Musik terus berkembang, dan dunia pendidikan musik harus ikut berubah. Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang kesalahan yang sama, dan generasi berikutnya akan lebih buruk dari sebelumnya.

Saatnya berhenti saling menyalahkan. Saatnya bertindak.