Pernah lihat orang nonton pertunjukan musik lalu tepuk tangan dengan penuh semangat? Terharu, kagum, bahkan ada yang sampai berdiri memberi penghormatan? Nah, itu apresiasi seni yang tulus.
Sekarang bayangin skenario lain. Ada sekelompok musisi yang katanya paham apresiasi seni. Mereka sudah belajar teori apresiasi, memahami sejarah seni, tahu seluk-beluk komposisi, dan bisa bedah setiap detail musik. Tapi ketika mereka nonton pertunjukan? Mereka bertepuk tangan... tapi bohong.
Bukan karena terkesan.
Bukan karena kagum.
Tapi karena SOP sosial yang harus dijalankan.
Selamat datang di dunia Apresiashit.
1. "Wah, Keren Banget!" (Padahal Mau Pulang Sejak Tadi)
Orang awam kalau suka sama pertunjukan? Langsung tepuk tangan, bersorak, mungkin sampai jingkrak-jingkrak.
Tapi kaum Apresiashit?
Setelah pertunjukan selesai, mereka berpura-pura tersenyum, sambil bilang:
"Bagus, bagus banget..." (dengan suara datar dan mata kosong).
Padahal, lima menit sebelumnya mereka sudah ngintip jam, ngecek HP, dan berharap acara cepat selesai.
2. Standing Ovation? Tentu, Tapi Bukan Karena Musiknya
Kadang, ada momen di mana semua orang berdiri memberi standing ovation. Orang awam berdiri karena mereka benar-benar terharu dan kagum.
Tapi kaum Apresiashit berdiri karena...
- Takut dibilang nggak paham seni.
- Ngikutin orang lain biar nggak keliatan aneh.
- Sungkan sama musisi yang tampil, apalagi kalau kenal.
Jadi, standing ovation mereka bukan karena pertunjukannya luar biasa, tapi karena kepentingan sosial.
3. "Wah, Tekniknya Keren Banget!" (Tapi Gak Ngerasain Apa-Apa)
Kaum Apresiashit nggak bisa bilang, "Wah, musiknya bikin gue merinding!"
Karena mereka sudah terlalu cerdas untuk merinding. Mereka akan fokus ke hal-hal teknis:
- "Penggunaan poliritmik di bagian tengahnya menarik, sih."
- "Tadi ada eksplorasi atonal yang cukup berani, meskipun agak kompleks."
- "Resonansi ruangnya mendukung atmosfer keseluruhan."
Tapi di dalam hati mereka? Datar. Nggak ngerasain apa-apa.
4. Tersentuh? Gak Mungkin, Itu Terlalu Norak!
Orang awam kalau dengar musik yang menyentuh hati bisa menitikkan air mata, merinding, bahkan nangis beneran.
Kaum Apresiashit? Tidak mungkin.
Mereka terlalu pintar untuk menangis. Mereka sudah belajar seni terlalu lama sampai lupa gimana rasanya menikmati seni.
Kalaupun akhirnya tersentuh, mereka harus menyusun narasi kompleks dulu sebelum mengakui itu.
- Orang awam: "Duh, lagunya bikin gue nangis."
- Kaum Apresiashit: "Komposisi ini memiliki kedalaman emosional yang kuat, mungkin karena penggunaan motif minor yang repetitif dan dinamik yang subtil."
Intinya, mereka gak bisa sekadar bilang "lagunya sedih banget."
5. Yang Paling Jujur Justru Orang yang Gak Paham Seni
Anehnya, justru orang yang gak pernah belajar apresiasi seni malah bisa jujur.
- Mereka nggak takut bilang kalau pertunjukannya membosankan.
- Mereka nggak malu untuk jingkrak-jingkrak kalau suka.
- Mereka nggak perlu pura-pura kasih pujian.
Sementara kaum Apresiashit hidup dalam kebohongan apresiasi. Mereka harus terlihat menghargai, padahal dalam hati kosong.
Kesimpulan: Apresiashit, Musisi yang Mengerti Seni tapi Lupa Cara Menikmatinya
Ironisnya, semakin seseorang belajar apresiasi seni, semakin besar risiko mereka kehilangan kejujuran dalam menikmati seni itu sendiri.
Mereka tahu teori, tahu sejarah, tahu teknik... tapi lupa rasanya tersentuh.
Jadi kalau lo ketemu orang yang tepuk tangan dengan wajah kosong, kasih pujian tapi nadanya datar, atau terlalu sibuk menganalisis daripada menikmati?
Ya, itu dia kaum Apresiashit.
Sementara itu, orang biasa yang nggak ngerti teori apa-apa justru menikmati seni dengan cara paling murni. Dan jujur aja, mungkin itu jauh lebih berharga.