Akhirnya, pilihan saya jatuh pada efek digital. Praktis, ringan, dan yang paling penting: murah. Tapi ternyata, pilihan itu membuat saya sering dipandang sebelah mata oleh para musisi senior. “Digital nggak punya nyawa,” kata mereka, sambil bangga memamerkan koleksi pedal analog yang mengilap. Saya hanya tersenyum kecut, karena toh suara saya tetap nyaring di atas panggung festival.
Efek Digital: Dari Ejekan ke Revolusi
Waktu berjalan, dan teknologi pun berkembang pesat. Dulu, efek digital memang sering dianggap “kelas dua” karena belum mampu menandingi kualitas analog. Tapi sekarang? Cerita sudah berubah.
Mulai dari pedal multi-efek canggih hingga software amp simulator seperti Neural DSP, Helix Native, atau bahkan plugin gratisan, efek digital kini bukan hanya mendekati kualitas analog, tapi dalam banyak kasus, melampauinya.
Saya ingat ketika mencoba software amp simulator pertama kali. "Wah, suaranya nggak jauh beda dengan ampli beneran!" pikir saya. Di situlah saya sadar, efek digital bukan sekadar solusi murah, tapi masa depan yang nyata.
Senior yang Beralih ke Digital: “Mana Pedal Analogmu?”
Lucunya, mereka yang dulu mengejek kini berbalik arah. Di studio dan panggung, saya mulai melihat musisi senior yang dulu bangga dengan pedal analognya, sekarang menenteng pedalboard digital. Kadang saya iseng bertanya:
"Pedal analognya mana, Mas? Jadi pajangan di lemari atau udah dijual ke toko barang bekas?"
Ada yang nyengir, ada yang balas bercanda. Tapi yang menarik adalah pengakuan mereka. Banyak yang bilang, "Capek, bro, bawain pedal analog banyak-banyak. Digital lebih praktis!"
Dan pertanyaan berikutnya: kalau pedal analog itu masih dipakai, apakah suaranya masih sama? Analog punya kelemahan: komponen fisiknya bisa aus, potensiometer bisa berkarat, dan penyimpanannya butuh perhatian ekstra. Kalau disimpan asal-asalan, jangan kaget kalau suaranya malah "ajaib" saat dicolokkan.
Semua Akan Digital, Tapi Seni Tetap di Tangan Gitaris
Tidak ada yang salah dengan pilihan efek—mau digital atau analog, semuanya tergantung selera dan kebutuhan. Yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkan teknologi untuk mengungkapkan ekspresi musik.
Sebagai gitaris, saya bersyukur karena sempat melewati fase “direndahkan karena digital.” Itu membuat saya menghargai evolusi teknologi dan seni. Dan sekarang, ketika efek digital menjadi standar baru, saya bisa tersenyum lebar, mengingat betapa banyaknya perubahan yang telah terjadi.
Jadi, buat Anda yang masih berpikir bahwa digital adalah kelas dua, coba renungkan: mungkin bukan teknologinya yang kurang “nyawa,” tapi justru interpretasi kita yang belum siap menerima inovasi.
Semua akan digital pada akhirnya, termasuk musik Anda. Sudah siap beradaptasi, atau masih terjebak nostalgia pedal analog?
Oh iya, sebelum menutup artikel ini, saya juga berterimakasih dengan senior musik yang pada titik itu tetap memberi saya semangat walau menggunakan pedal digital, meski hanya segelintir senior yang mendukung, tanpa kalian mungkin saya dan teman-teman gitaris muda kaum "mendang-mending" kala itu tidak akan bisa bertahan di industri ini.
Artikel ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis sambil menikmati satire ringan tentang evolusi teknologi musik. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang dunia digital untuk gitaris, simak artikel lainnya di Blog Fisella. Jangan lupa bagikan pengalaman Anda di kolom komentar! 🎸