Masa kecil saya di bangku sekolah dasar penuh dengan kenangan yang tak terlupakan. Salah satu kenangan yang paling menonjol adalah kebiasaan saya membuat ritmis dengan memukul meja atau kursi, yang oleh guru dan teman-teman disebut "klotekan". Kebiasaan ini sering kali membuat saya dimarahi oleh para guru karena dianggap mengganggu ketertiban kelas. Namun, siapa sangka bahwa kebiasaan yang dianggap mengganggu ini justru merupakan tanda kecerdasan musikal yang ada secara alamiah dalam diri saya. Jika bukan karena "klotekan" itu, mungkin saya tidak akan menjadi musisi seperti sekarang, bekerja menjadi musisi profesional dan membuka bisnis kursus musik di Jogja.
Opini Klotekan: Gangguan atau Bakat Terpendam?
Ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, saya sering kali mendapatkan teguran dari guru-guru saya karena kebiasaan saya yang suka memukul-mukul meja atau kursi. Aktivitas ini biasanya saya lakukan tanpa sadar, terutama saat sedang merasa bosan atau ingin mengungkapkan kreativitas saya. "Klotekan" adalah istilah lokal yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas menciptakan ritme dengan benda-benda sekitar, seperti memukul meja, kursi, atau permukaan lain. Suara "klotek" yang dihasilkan memberikan kepuasan tersendiri bagi pelakunya dan sering kali menjadi cara untuk menghilangkan kebosanan atau mengekspresikan diri.
Bahkan saya masih ingat betapa seringnya saya mendengar guru-guru menegur saya.
"Peter, berhenti memukul meja! Itu mengganggu teman-temanmu," kata guru matematika saya.
"Jangan bikin suara berisik di kelas. Fokus pada pelajaran," tegur guru bahasa Indonesia.
"Kamu bisa diam tidak? Ini bukan waktunya pelajaran seni musik," kata guru seni rupa.
Saat itu, saya merasa bahwa kebiasaan saya ini adalah sesuatu yang salah. Saya merasa bersalah karena sering kali mengganggu kelas dan membuat teman-teman saya tidak nyaman. Namun, di sisi lain, saya juga merasa bahwa ada sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan ketika saya melakukan "klotekan". Saya merasakan kegembiraan dan kepuasan yang sulit dijelaskan ketika saya bisa menciptakan ritme dengan memukul meja atau kursi.
Sering Kena Hukum tapi Tetap Nggak Kapok
Tidak jarang, kebiasaan "klotekan" ini membuat saya harus menerima konsekuensi yang lebih serius daripada sekadar teguran. Saya sering kali dikenai hukuman, seperti disuruh berdiri di depan kelas, menulis kalimat "Saya tidak akan membuat suara berisik di kelas lagi" berulang kali, atau bahkan dipanggil ke ruang guru untuk mendapatkan peringatan yang lebih tegas. Namun, hukuman-hukuman tersebut tampaknya tidak cukup untuk membuat saya kapok. Meski sering kali merasa malu dan jera sesaat, saya tetap saja kembali melakukan "klotekan" di kemudian hari. Dorongan untuk menciptakan ritme dan suara selalu lebih kuat daripada rasa takut saya akan hukuman.
Sadar Akan Kecerdasan Musikal
Seiring berjalannya waktu saat duduk di bangku SMA, saya mulai menyadari bahwa kebiasaan saya ini bukanlah sesuatu yang harus saya sesali. Ketika saya tumbuh dewasa dan mulai memahami lebih banyak tentang musik, saya menyadari bahwa kebiasaan "klotekan" adalah tanda kecerdasan musikal yang saya miliki secara alami. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang suka bermain dengan ritme dan suara memiliki kecerdasan musikal yang tinggi.
Kecerdasan musikal adalah kemampuan seseorang untuk memahami, menciptakan, dan mengapresiasi musik. Anak-anak dengan kecerdasan musikal biasanya memiliki kemampuan untuk mengenali nada, ritme, dan pola musik dengan mudah. Mereka juga cenderung menikmati aktivitas yang berhubungan dengan musik, seperti menyanyi, menari, atau bermain alat musik.
Ketika saya menyadari bahwa kebiasaan "klotekan" adalah bagian dari kecerdasan musikal saya, saya mulai merasa bangga dengan diri saya sendiri. Saya mulai melihat kebiasaan ini sebagai anugerah, bukan sebagai gangguan. Saya mulai menghargai bahwa kemampuan saya untuk menciptakan ritme dan musik adalah sesuatu yang istimewa dan berharga.
Perjalanan Menjadi Musisi Profesional
Jika saya berhenti melakukan "klotekan" pada masa kecil saya, mungkin saya tidak akan menjadi musisi seperti sekarang. Kebiasaan ini adalah awal dari perjalanan panjang saya dalam dunia musik. Ketika saya masuk ke sekolah menengah pertama, saya mulai belajar bermain alat musik bareng band temen SMP di sekolah. Kecintaan saya pada musik semakin berkembang, dan saya mulai menulis lagu dan menciptakan komposisi musik saya sendiri saat SMA.
Pada akhirnya, saya memutuskan berstudi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Musik untuk mengejar karir dan membangun relasi di bidang musik. Saya belajar di beberapa kursusan untuk mendapatkan sertifikat sebagai audio engineer dan gitaris. Semua pencapaian ini tidak akan mungkin terjadi jika saya tidak menyadari kecerdasan musikal yang sudah terbentuk sejak kecil melalui kebiasaan "klotekan".
Membangun Fisella Music Course
Salah satu pencapaian terbesar saya adalah mendirikan Fisella Music Course, sebuah kursus musik yang fokus pada pengembangan bakat musik anak-anak di bidang musik. Saya ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kecerdasan musikal mereka sejak dini. Saya ingin mereka merasakan kegembiraan dan kepuasan yang sama seperti yang saya rasakan ketika saya masih kecil.
Di Fisella Music Course, kami mengajarkan berbagai alat musik dan memberikan pelatihan dalam komposisi musik, produksi audio, dan banyak lagi. Kami juga memberikan perhatian khusus kepada anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda kecerdasan musikal, seperti suka memukul-mukul meja atau menciptakan ritme dengan benda-benda di sekitar mereka. Kami tidak ingin mereka merasa bahwa kebiasaan ini adalah sesuatu yang salah. Sebaliknya, kami mendorong mereka untuk mengeksplorasi bakat mereka dan mengembangkan kemampuan musikal mereka.
Belum Sukses tapi Bisa Hidup dari Musik
Walaupun saya belum bisa dikatakan sukses besar, saya bersyukur karena bisa hidup dan bekerja sebagai musisi profesional. Saya bisa memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga dari hasil mengajar, menciptakan komposisi musik, dan bekerja sebagai audio engineer. Saya bisa terus berkarya dan membagikan kecintaan saya terhadap musik kepada orang lain. Meskipun perjalanan ini penuh tantangan, saya merasa bahagia dan puas karena bisa menjalani hidup sesuai dengan passion saya.
Bangga Menjadi Berbeda
Sekarang, ketika saya melihat kembali masa kecil saya, saya merasa bangga menjadi berbeda dan dianggap mengganggu saat kecil. Saya bangga dengan kebiasaan "klotekan" yang dulu sering membuat saya dimarahi oleh guru-guru saya. Kebiasaan ini adalah bagian dari diri saya dan telah membantu saya menjadi musisi profesional seperti sekarang.
Saya berharap cerita saya ini dapat menginspirasi anak-anak lain yang memiliki kebiasaan serupa. Jangan pernah merasa bahwa menjadi berbeda adalah sesuatu yang salah. Kebiasaan yang mungkin dianggap mengganggu oleh orang lain bisa jadi adalah tanda dari bakat dan kemampuan istimewa yang Anda miliki. Teruslah eksplorasi dan kembangkan bakat Anda, karena siapa tahu, kebiasaan kecil yang Anda miliki sekarang bisa menjadi dasar dari kesuksesan Anda di masa depan.
Kesimpulan
Pesanku buat bapak dan ibu guru di sekolah formal, terutama yang seusia denganku, tidak semua anak yang saat sekolah dasar suka coret-coret, klotekan, atau melakukan hal-hal lain yang dianggap mengganggu itu nakal. Mereka mungkin hanya merasa bosan dengan rutinitas sekolah formal dan membutuhkan ruang untuk mengekspresikan kecerdasan mereka. Kebiasaan yang tampaknya mengganggu ini bisa jadi adalah cara mereka menunjukkan bakat dan kreativitas yang unik. Penting bagi kita untuk memahami dan mendukung anak-anak ini, memberikan mereka kesempatan untuk mengekspresikan diri, dan membantu mereka mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.