Latar Belakang
Dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya, manusia merupakan karya Tuhan yang paling mulia. Karenanya selain diberikan insting, manusia diberikan hati nurani untuk menentukan keputusan. Pemikiran manusia cenderung lebih dinamis dibandingkan ciptaan lainnya. Hal ini terbukti adanya perubahan yang sangat mencolok dari kemampuan berpikir manusia sejak zaman purba hingga sekarang.
Perubahan berpikir manusia dapat kita telusuri jejak perkembangannya sejak masa keemasan (Socrates, Plato, dan Aristoteles), abad pertengahan dan masa-masa selanjutnya, terutama dalam mengolah rasio dan rasa. Berpikir kritis adalah bekal manusia dalam mengatasi problematika serta fenomena baik dalam ilmu eksak maupun ilmu non eksak.
Berbeda dengan era filsafat modern (René Descrates, Leibniz, Immanuel Kant, dan lain sebagainya) berberengan dengan era barok dalam musik, manusia cenderung berpikir jauh lebih melampaui batas (transendental). Perubahan pola berpikir manusia inilah dapat dinilai bahwa ada campur tangan subyektifitas dimana manusia mulai mengasah intelektual cita rasanya untuk tetap bertahan hidup. Dari sinilah cikal bakal romantisme muncul dan menjadi sangat digemari oleh publik.
Film The Devil’s Violinist karya Bernard Rose merupakan film yang menceritakan salah satu maestro biola ternama dalam era romantik yaitu Nicolo Paganini. Dalam karya ini tidak hanya musik era romantik karya Paganini saja yang diangkat namun sisi romantisme dalam strata sosial serta pola pikir masyarakat nampak jelas disuguhkan dalam film ini.
Hubungan Strata sosial dan Musik
Dalam film The Devil’s Violinist digambarkan bahwa musik adalah sebuah media yang sangat dihargai oleh seluruh lapisan strata sosial. Dalam film tersebut menunjukkan bahwa musik sangat diterima baik oleh semua kalangan terutama kaum bangsawan. Hal ini terlihat dari bagaimana Raja Inggris datang menyaksikan kepiawaian seorang Nicolo Paganini dalam bermusiknya.
Sisi romantisme yang tergambar dalam hubungan strata sosial dan Musik yang nampak adalah ketika Nicolo Paganini mengucapkan selamat datang kepada Raja Inggris bukan dengan bahasa verbal melainkan dengan bahasa non verbal melalui lagu berjudul God Save the King. Sambutan melalui lagu instrumental tersebut direspon oleh Raja Inggris dengan standing ovation (sambutan dengan tepuk tangan sambil berdiri). Adanya komunikasi dua arah melalui lagu musik instrumental Paganini dan dibalas dengan standing ovation dari Raja Inggris menunjukkan adanya makna romantisme didalam percakapan non verbal tersebut.
Pola Berpikir Masyarakat
Dari seluruh konser yang terdapat dalam film ini menunjukkan bahwa musik menjadi sarana yang mengedepankan kepuasan dari audiensi. Terlihat pada awal film terdapat sebuah scene dimana Paganini menjadi solois untuk menutup format Musik Opera. Dalam scene tersebut diperlihatkan Paganini menunjukkan kepiawaiannya secara teknikal namun Paganini tidak mendapat respon dari audiensi.
Paganini sadar bahwa permainannya tidak mendapatkan respon dari audiensi. Hal ini membuat Paganini berpikir bagaimana cara mendapatkan respon dalam permainan biolanya. Pada scene ini terdapat beberapa detik yang menggambarkan mimik wajah Paganini berpikir cukup keras untuk mengubah musiknya. Paganini kemudian memainkan suara hewan dengan menyisipkan beberapa frase yang musikal dan mendapatkan respon walaupun kurang baik.
Perspektif romantisme terlihat dari bagaimana musik mendapatkan respon oleh audiensi. Bermain musik secara teknikal nampak tidak begitu berguna bagi pendengarnya namun sedikit musik yang menarik perhatian justru memiliki dampak.
Hal romantis lain yang terlihat jelas dalam film ini adalah ketika John Watson seorang konduktor asal Inggris berupaya mengundang Nicolo Paganini untuk melakukan konser di Inggris. John Watson yakin bahwa respon masyarakat akan sangat baik ketika Nicolo Paganini datang ke Inggris. Pada konsernya di Inggris tiket terjual habis, hal ini menunjukkan adanya pemikiran kolektif masyarakat Inggris akan adanya paham bahwa musik merupakan sebuah sarana untuk memuaskan hasrat pendengarnya.
Karya Musik Nicolo Paganini
Dari karya Paganini yang ditayangkan pada Film The Devil’s Violinist terdapat satu repertoar yang cukup menjadi perhatian. Repertoar berjudul Io Ti Penso Amore yang berarti Aku Menganggapmu Sebagai Cinta yang dinyanyikan oleh Charlotte Watson, anak dari John Watson menggambarkan romantisme dari seorang Nicolo Paganini.
Pada scene tersebut Paganini berusaha meyakinkan Charlotte untuk berkolaborasi bersamanya tanpa ada persiapan sebelumnya. Pendekatan rasa yang dilakukan Paganini untuk meyakinkan Charlotte bernyanyi dalam konsernya membuahkan respon sangat baik dari seluruh audiensi bahkan para musikus dan komponis Inggris yang hadir dalam konser tersebut.
Kesimpulan
Perspektif romantisme yang tergambar dalam film The Devil’s Violinist sangat jelas dan kompleks dalam menggambarkan romantisme. Sisi romantisme tergambar dalam tiga aspek yaitu hubungan musik dan sosial, pola pikir masyarakat, serta karya yang dibawakan oleh Nicolo Paganini.