Faktor Eksternal dan Internal yang Mempengaruhi Emosi Wolfgang Amadeus Mozart dalam Membangun Karya Agung Symphony No. 40 dalam G Minor
Oleh Peter Angga Branco de Vries Mau
Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Musik, Program Studi Musik, Mayor Gitar, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Latar Belakang
Era Klasik merupakan sebuah titik kesempurnaan musik Barat dimana musiknya dapat dinilai secara rasional baik dari segi bentuk musik, dinamika, tempo, dan lain sebagainya. Kejayaan era ini tidak lepas dari peran tiga komposer besar yaitu Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwing Van Beethoven dengan komposisinya yang sangat fenomenal. Pada era ini pula dapat dikatakan musik menjadi sangat logis walaupun tetap mengutamakan unsur subyektifitas di dalamnya.
Seorang komposer muda dan berbakat pada era ini adalah Wolfgang Amadeus Mozart yang memiliki hubungan dekat dengan Joseph Haydn baik dalam hal pribadi maupun musik. Mozart selalu mengatakan bahwa dia telah belajar menulis kuartet instrumen geseknya dari Haydn. Mozart seringkali membangun musiknya dengan bentuk musik Haydn seperti tema atau motif tunggal. Keduanya berbagi bahasa musik yang sama dan dapat dikatakan orkestra mereka sama, kecuali dalam kenyataannya Haydn tidak menyematkan klarinet pada orkestranya di Hongaria. Walaupun terdapat kesamaan pada musik mereka, secara kepribadian keduanya justru sangat kontras, terlihat dari sifat Haydn yang pendiam, teratur, agak kuno, sedangkan Mozart sangat lincah, ekspresif, dan mudah bergaul (mungkin adanya keterpautan usia keduanya yang cukup jauh) (Landon, 1988).
Dalam sejarah Mozart tercatat sebagai komposer dengan kehidupan tragis, Mozart memulai karirnya dengan sukses sejak usia dini dan dikenal sebagai anak ajaib. Dia memainkan piano (instrumen yang masih baru pada saat itu), harpsichord, organ, dan biola dengan indah dan dibawa ayahnya bermain di sejumlah konser di negara-negara Eropa. Penampil muda itu menyenangkan hati para bangsawan yang memberikan penghargaan, sanjungan, dan hadiah yang indah daripada dalam bentuk uang. Namun diusianya yang cukup singkat, Mozart menjalani kehidupan yang sulit, dan pada akhir hayatnya Mozart dimakamkan dalam kuburan yang tidak bertanda (Ferris, 1999).
Mozart membuat karya agung yang sangat terkenal. Meskipun musik klasik bukan lagi bentuk musik yang paling populer di semua kalangan namun sampai saat ini orang masih suka mendengar karya-karya Mozart, memainkan musiknya untuk bayi, menggunakannya untuk belajar atau bekerja, dan menggunakannya untuk menenangkan, merangsang, atau menenangkan pikiran. Musiknya masih sepopuler dulu, hal ini menjadi bukti besar atas Mozart. Faktanya, musik Mozart masih sering diperdengarkan baik dalam pertunjukan musik, stasiun radio, atau di Youtube.Beberapa karya yang terkenal antara lain Serenade No. 13 (Eine Kleine Nacht Musik), Symphony No. 40, 1st Movement "Allegro", Overture to "The Marriage of Figaro", "Rondo Alla Turca", The movie Amadeus, Symphony No. 41 "Jupiter," 1st Movement "Allegro Vivace", dan Overture to The Magic Flute (Sands, 2019).
Musik pada Era Klasik yang dapat dikatakan megah adalah simfoni (symphony) karena dimainkan dalam formasi orkestra. Semasa hidupnya Mozart menulis banyak simfoni yang membuatnya semakin dikenal di Eropa. Pada 1788 di musim panas, Mozart menulis tiga simfoni yaitu Symphony No. 39 dalam Eb mayor, Symphony No. 40 dalam G minor, dan Symphony No. 41 dalam C mayor (Schwarm, 2017). Pada waktu yang sama Mozart menulis tiga simfoni namun terdapat perbedaan pada Symphony No. 40 yang dimainkan dalam tangga nada G minor berbeda dengan dua simfoni yang lain. Hal ini menimbulkan banyak asumsi bahwa terdapat sebuah emosi tersirat yang ingin disampaikan Mozart kepada pendengarnya.
Faktor Eksternal
Perang Austro-Turki terjadi pada tahun 1788-1791 antara Kerajaan Habsburg dan Kekaisaran Ottoman, bersamaan dengan Perang Rusia-Turki (1787-1792). Perang ini disebut juga sebagai Perang Habsburg-Ottoman atau Perang Austro-Ottoman. Perang dimulai sebagai konflik Rusia-Turki dimana kekaisaran Rusia yang dipimpin oleh Catherine yang Agung, telah terlibat dalam perang penaklukan sebelumnya melawan Ottoman, dan kedua negara secara terbuka bermusuhan. Pada Agustus 1787, setelah "banyak provokasi Rusia" (Hochedlinger), Kekaisaran Ottoman mendeklarasikan perang terhadap Rusia. Kaisar Austria Joseph II telah membuat aliansi dengan Rusia pada tahun 1781, hal ini mewajibkannya untuk membantu Rusia dengan kekuatan penuhnya. Wina merasa bahwa mereka harus bertindak segera agar tidak terganggu (Hochedlinger, 2003).
Tercatat pada 21-22 September 1788 Pertempuran Karánsebes terjadi bersamaan dengan Perang Austro-Turki. Kejadian ini adalah insiden permasalahan internal di pasukan Austria, yang tercatat terjadi pada malam 21-22 September 1788, selama Perang Austro-Turki 1787-1791.
Kepemimpinan Joseph II
Joseph II menjadi Kaisar Romawi Suci dari tahun 1765 hingga 1790 dan penguasa Monarki Habsburg dari tahun 1780 hingga 1790. Joseph II dikenal sebagai pemimpin yang otoriter pada saat nama Mozart dikenal di Wina. Ketika Joseph menjadi penguasa tunggal, dia bertekad untuk menerapkan kebijakannya sendiri. Salah satunya memperluas reformasi gereja. Peran Joseph sebagai reformator gereja telah menjadi bahan perdebatan yang cukup besar. Dalam sejarah Austria, istilah Josephinisme umumnya berarti menundukkan Gereja Katolik Roma di tanah Habsburg untuk melayani negara, tetapi asal-usul dan tingkat penaklukan semacam itu telah menimbulkan kontroversi. Maria Theresa dan Joseph, keduanya beragama Katolik Roma yang taat, tetapi keduanya juga percaya pada kontrol negara yang tegas terhadap hal-hal gerejawi di luar lingkup agama yang ketat. Untuk meningkatkan ekonomi, Maria Theresa memerintahkan pembatasan pada hari libur keagamaan dan melarang pengambilan sumpah gerejawi sebelum berusia 24 tahun. Dia bersikeras bahwa para agamawan tunduk pada yurisdiksi negara dan bahwa perolehan tanah oleh gereja dikendalikan oleh pemerintah. Dia mengambil tindakan terhadap Serikat Yesus (Jesuit), tetapi hanya pada 1774, setelah paus memerintahkan penindasannya.
Tindakan Joseph yang paling radikal dalam masalah gereja adalah Edict of Toleration (1781) dan reformasi monastiknya. Dekrit dan undang-undang yang menyertainya memberi Lutheran, Calvinis, dan Kristen Ortodoks mendekati kesetaraan dengan Katolik Roma dan memberi orang Yahudi hak untuk memasuki berbagai perdagangan serta izin untuk belajar di universitas. Dalam hal ini, perbedaan antara Yusuf dan ibunya sangat mendasar. Sementara Maria Theresa menganggap Protestan sebagai bidat dan Yahudi sebagai perwujudan Antikristus, Joseph menghormati denominasi Kristen lainnya, percaya bahwa orang-orang Yahudi melakukan pelayanan yang baik untuk negara, dan setidaknya telah menghibur pemikiran tentang sebuah gereja Austria yang independen dari Roma (Karl A. Roider, Reinhold F. Wagnleitner, Fritz Fellner, Lutz Holzner, Karl R. Stadler, 2019).
Faktor Internal
Tahun 1788 adalah tahun yang rumit bagi Mozart. Audiensi Wina terbukti kurang bersemangat untuk mendengarnya konser dan resitalmya, tagihan menumpuk, dan putrinya yang masih bayi Theresia baru saja meninggal. Surat kepada teman-temannya mengungkapkan bahwa ia kesulitan untuk melihat seperti berbayang, dan fakta ini mempengaruhi Symphony No.40 dalam G minor yang bernuansa cemas ini (Schwarm, 2017).
Pada pertengahan 1780-an, gaya hidup mewah Mozart dan istrinya sudah mulai membuahkan hasil. Terlepas dari kesuksesannya sebagai pianis dan komposer, Mozart jatuh ke dalam kesulitan keuangan yang serius. Mozart menghubungkan dirinya dengan aristokrats Eropa yang dimana dia harus hidup seperti itu. Dia memperkirakan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan penghasilan yang lebih stabil dan menguntungkan adalah melalui bantuan kekaisaran. Namun, ini tidak akan mudah dengan preferensi musikal kekaisaran yang cenderung pada komposer Italia dan pengaruh Kapellmeister Antonio Salieri. Hubungan Mozart dengan Salieri telah menjadi subjek spekulasi dan legenda. Surat-surat yang ditulis antara Mozart dan ayahnya, Leopold, menunjukkan bahwa keduanya merasakan persaingan dan ketidakpercayaan terhadap musisi Italia pada umumnya dan Salieri pada khususnya. Puluhan tahun setelah kematian Mozart, desas-desus menyebar bahwa Salieri telah meracuninya. Namun sebenarnya, tidak ada dasar untuk spekulasi ini. Meskipun kedua komposer itu sering berselisih untuk pekerjaan yang sama dan perhatian publik, ada sedikit bukti bahwa hubungan mereka adalah sesuatu di luar persaingan profesional yang khas (Biography.com Editors, 2019).
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa emosi Mozart ditunjukan sebagai sebuah anomali pada karyanya Symphony No. 40 dalam G minor yang cenderung menunjukan suasana kurang riang dibandingkan dengan dua simfoni lainnya yang dimainkan dalam tangga nada mayor, dipengaruhi faktor eksternal dan internal yang terjadi pada tahun 1788, dimana suasana politik Austria yang dirasa kurang kondusif, kepemimpinan Joseph II yang cukup otoriter,serta kehidupan Mozart terutama masalah keuangan yang cukup rumit.
Artikel diatas mengandung unsur subyektifitas dari penulis namun seluruh fakta yang tercantum adalah asli berdasarkan literatur yang terpercaya. Segala bentuk penjiplakan artikel ini akan dikenai sanksi berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Penggunaan artikel ini sebagai bahan ajar maupun sharing harus melalui ijin penulis. Perijinan menyebarkan artikel ini dapat disampaikan melalui halaman Contact.
Picture source :veiling.catawiki.nl